MENJEMPUT SUAMIKU
PART - 4
“Sayang, ada apa?”
“Diamlah!” Ku acungkan ujung beling padanya. Aku tidak main-main, sungguh aku benar-benar takut pada laki-laki di hadapanku sekarang.
“Sayang, ada apa? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu seperti ini?” Isak tangisnya terdengar.
“Lepas! Kamu ini setan! Setan yang penuh tipu daya!” Kuhentak tubuhku, kakiku menendang lututnya, namun mas Luba tampak acuh.
“Sayang.” Lirihnya pelan. Lama-lama aku muak padanya, ingin melepaskan pelukannya, namun tenaganya terlalu kuat bagiku.
“Bismillahirohmanirohim.” ucapku. Mas Luba melepaskan pelukannya, mundur teratur sampai terpantuk ujung ranjang.
“Lihatlah, setan tidak mungkin bisa menandingi kuasa Allah.” sinis ku. Aku takut, takut sekali. Namun, ketika melihat wajah itu mulai memerah, semakin ku lantangkan suaraku.
“Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum.” Jedaku.
Dahi mas Luba berkerut. “Laa ta'khudzuhuu sinatuw wa laa naum.” Timpalnya. Kali ini aku yang tersudut pada dinding, bagaimana bisa?
“Ka-kamu …” tubuhku menegang. Mas Luba mendekati ku seraya tersenyum, mengusap pipiku dengan lembut.
“Lahuu maa fis samaawaati wa maa fil ardh. Man dzal ladzii yasyfa'u 'indahuu illaa bi idznih.” Sambungnya. “Apa lagi? Apa kamu ingin suamimu ini membuktikan jika Aku bukan setan?” Bisiknya mendayu.
“Setan.” Desis ku. Mas Luba terkekeh, akan tetapi tidak marah.
“Sudahlah. Jangan seperti ini, Mas sungguh khawatir.” Pintanya pelan. Iya mulai merapikan helaian rambut di wajah ku.
“Aku yang khawatir pada suamiku. Kamu ini bukan Mas Luba. Kamu ini setan!”
“Lembayung!” Aku terkejut. Pria yang menyerupai suamiku itu membentakku, semakin meyakinkanku jika ia bukan suamiku.
Mas Luba mencengkram rahangku, memaksa ku menoleh ke sisi kiri. Dimana disana ada meja hias, ada pantulan ku dan pria kasar ini pada cermin itu. Mas Luba memaksa ku melihat dengan jelas, jika ia manusia, karena ada pantulan tubuhnya disana, di cermin hias itu.
“Sayang, lihatlah. Jika aku ini setan, mana mungkin ada pantulan tubuhku pada cermin itu!” Rahangnya mengeras, aku melirik wajahnya dari ekor mataku, ku tangkap raut wajah yang berbeda, seakan hanya wajahnya saja yang mirip mas Luba, suara bahkan tatapan juga perilakunya bukanlah suamiku.
“Ya.”
Mas Luba melepaskan cengkeramannya, ketika aku mengalah. Aku mengatakan ya bukan untuk mempercayainya.
“Kamu percaya sayang?” Lembutnya, iya bertutur pelan seakan kejadian barusan tak pernah terjadi, apa iya psikopat?
“Ya.” Ulangku. Wajahnya tambah cerah, mulai mencium keningku kemudian menjauh, darah di keningnya itu masih mengalir, namun tak sederas tadi. Mas Luba berjongkok, mulai membersihkan pecahan gelas, aneh. Benar-benar aneh, hanya karena aku berkata iya, dia sudah baik kembali.
“Sayang, kemarilah.” Pintanya.
“Tidak.” Sahutku cepat. Mas Luba mendongak, wajahnya terangkat. Tubuhnya yang berjongkok tertutup badan ranjang, jadi hanya terlihat kepalanya saja.
Lamat, semakin lamat pandangan kami bersitatap. Hingga akhirnya, ia menyeringai juga.
“Ya. Aku tidak akan mempercayaimu. Suamiku bersuara berat namun lembut padaku. Sedangkan iblis seperti mu, bukanlah suamiku. Kamu … kamu siapa?” suaraku terbata-bata. Pelan-pelan tangan kananku terangkat, bersiap memegang gagang pintu, aku ingin lari.
“Bebal.” Sungutnya kesal.
“Sudah kukatakan, aku suamimu.”
Krakk!
Patahan tulang terdengar.
Sial! Pria itu mulai bangkit, namun tidak berwujud seperti tadi. Aku menoleh sejenak, namun kembali terdiam ketika melihat pantulan cermin.
“Fusena.” Gumamku. Wanita itu berdiri tepat di belakang pintu.
“Sayang.” Aku kembali menatap kedepan. Tidak ada siapapun, termasuk sosok yang menyerupai suamiku. Ku lihat kembali cermin, tidak ada Fusena, makhluk itu juga sudah menghilang.
“Sayang.” Suara serak juga basah itu menghantui pikiranku. Seakan kamar ini dipenuhi panggilannya.
“Ya Allah. Tolong aku.” Aku berlari cepat ke sisi ranjang. Sedikit berjongkok, dan menundukkan badan. Sosok itu tidak ada di bawah ranjang, aku kembali berdiri. Meraih ponsel ku yang sudah mati.
“Lari Bayung, kamu harus lari.” Kuatku dalam hati. Aku meraih koper di sisi ranjang, mengambil charger. Kemudian berlari lagi menuju pintu, sebelum aku keluar dari kamar, setidaknya ada benda yang akan menyelamatkanku. Itulah mengapa aku meraih vas bunga di atas meja rias, dan berlari keluar dari kamar setelahnya.
Seakan ada yang mengejar dari belakang, aku berlari tanpa peduli kaki ku terkilir.
“Aaaaaaaaaa.” Pekiku.
Aku tersandung dan jatuh dari tangga, sialnya. Perutku menghantam lantai dasar ketika hanya tersisa lima buah anak tangga.
Apa aku mati? Kenapa aku melihat tubuhku sendiri tengah berjongkok di depanku.
Mataku mulai terpejam, namun telinga mampu mendengar suara parau dari lantai dua. ‘Jangan sentuh barangku!’
Bugh!
Kepalaku berdenyut, vas bunga di genggaman tangan ku berhasil ia hantamkan pada kepala ini.
____
Aku tidak tahu, sejak kapan aku duduk di teras belakang. Aku tidak tahu, sejak kapan kepalaku di perban. Aku tidak ingat apapun, selain mimpi burukku. Mas Luba senantiasa menggenggam tanganku, menceritakan kejadian bahwa aku terjatuh dari anak tangga.
Ingin percaya, namun mimpiku berbeda.
“Mas,” panggilku.
Mas Luba menoleh. “Ya sayang?”
“Apa tadi malam ada kejadian aneh? Kenapa aku tidak ingat apapun selain mimpi itu? Dan. Kenapa hari sudah sore? Apa yang kulakukan seharian dirumah ini?” Tanyaku beruntun.
“Tidak terjadi apapun. Malam tadi tidurmu nyenyak. Dan tadi pagi, ada tragedi jatuhnya kamu dari anak tangga. Tenanglah, semuanya baik-baik saja.”
“Begitu, ya.” Lirihku. Kuraba perutku, terasa perih sekali.
“Kenapa?” Mas Luba ikut meraba perutku.
“Aneh. Perutku kok sakit, ya?”
“Mungkin perasaanmu. Bagaimana jika kita jalan-jalan? Supaya kamu melupakan kejadian itu,” bujuk suamiku.
Aku memandangi langit, sebentar lagi hujan. Dan suamiku mengajakku jalan-jalan.
“Kemana?” Tanya ku.
“Kemana saja.” Senyumnya. Aku mengangguk, meski bangkit pun terasa sakit.
“Aku tunggu di depan.” Mas Luba mengiyakan, mengingat suamiku masih memakai pakaian proyek, jadi kuputuskan menunggunya di luar selagi ia bersiap.
Aku mulai melewati dapur, terlihat perabotannya lengkap. Tidak hanya itu, aku pun melewati beberapa sekat ruangan, sepertinya rumah ini benar-benar didesain untuk keluarga bahagia, bahkan kamarnya pun lebih dari satu. Tidak dapat dihitung, sedangkan di lantai dua lebih dari lima pintu kamar yang saling berdampingan.
“Kamar apa ini?” Batinku. Aku terhenti di depan sebuah pintu, pintu bercat hijau dengan nampan berisi sesajen tepat dibawah pintunya. Dupanya masih menyala, mengakibatkan aromanya menguar kemana-mana.
Tanganku hendak meraih gagang, namun ketika melihat gagang nya berdebu, tanganku menjadi urung. Aku ingat pesan mas Luba, untuk tidak membuka pintu kamar selain kamar ku, ataupun memindahkan barang apapun.
“Mungkin gudang.” Gumamku. Aku berjalan kembali, tapi lagi-lagi terhenti ketika mendengar Isak tangis dari balik pintu itu.
BRAK! BRAK! BRAK!
“Buka! Tolong! Siapapun bantu aku! Aku ingin hidup! Wa–wanita itu menjijikkan! Ia memaksaku menggantikannya melahirkan! Tolong!”
“Apa ada orang didalam?” Panggilku berteriak, aku membalik badanku, menempelkan telinga ini pada pintu.
“Apa ada orang?”
Slurp!
Tubuhku mematung. Telingaku seakan dijilat sesuatu, berlendir juga amis. Atau mungkin, pintu ini hidup?
Aku mulai menjauhi pintu, setengah berlari menuju teras depan, sambil mengelap lendir lengket pada telingaku. Aku menutup mulut, menatap jari jemariku. “Lendir apa ini?” baunya begitu menyengat hidung.
“Hai.” Aku terpekik. Mundur satu langkah ketika pintu utama kubuka.
“Aku tetanggamu.” Ujar wanita itu pelan. Aku celingukan, mencari mas Luba. Dan kembali menatap wanita yang sudah berdiri sedari tadi sepertinya.
“Ini untukmu.” Serunya menyerahkan semangkuk sup padaku.
“Terimakasih,” tanganku meraihnya. Wanita itu tersenyum, ia menatapku dari atas sampai bawah.
“Masuklah dahulu,” ajakku mempersilahkan. Wanita itu menggeleng, sepertinya ia memang tinggal di daerah sini, lagi pula aku masih ingat, jika ada beberapa rumah tidak jauh dari rumah ini.
“Sup ini buatanmu? Aromanya wangi sekali.” Pujiku tulus, aku tidak berbohong. Aromanya sangat wangi, siapapun yang menghirup baunya pasti akan kelaparan.
“Iya, itu buatanku. Kebetulan suamiku mendapatkannya tadi malam.” Senyumnya mengembang.
“Siapa namamu?” Tanyaku.
“Aku pulang dahulu.” Belum sempat ia menjawab, wanita itu buru-buru berbalik pergi. Aku mengedikkan bahu, merasa aneh dengan tetangga baruku itu.
“Tunggu!” Suaraku menghentikan langkahnya. Wanita itu berbalik, sembari menggaruk-garuk kepalanya.
Aku memutar badan cepat, meletakkan semangkuk sup ini diatas meja. Kemudian menyusul wanita itu yang tengah berdiri di halaman, sekilas kulihat mas Luba di atas tangga, mungkin suamiku baru turun dari lantai atas.
“Aku Lembayung.” Sapaku pada wanita itu. “Kamu bisa memanggilku Bayung.” Tandas ku mengajaknya berjabat tangan. Akan tetapi wanita itu tidak henti-hentinya menggaruk kepala juga wajah.
“Apa kamu sakit?” Tanyaku heran.
“Tidak.” Kilahnya.
“Syukurlah.” Ucapku.
Ku amati wajahnya, wajahnya seakan mirip seseorang, seperti pernah bertemu denganku, tapi. Dimana?
“Bayung,” panggilnya.
Lamunanku seketika buyar. “Ya?”
“Apa kamu yakin itu suamimu?”
“Aku tidak mengerti,”
“Suamimu yang pertama kali menampakkan dirinya padamu. Iya ada di sekelilingmu tapi tidak berani masuk, kamu bisa mengizinkannya masuk jika kamu berani melanggar pantangan itu.” seraknya.
Dahiku menyerngit. “Pantangan?”
Wanita itu menganggukkan kepalanya, namun sayangnya terlalu cepat, sampai leher kepalanya terlihat tak bertulang.
“Mahal harganya.” Bisiknya pelan namun membuat telingaku mendengung.
“Sedikit mahal! Hahahaha!”
Ku tutup telingaku, suaranya terlalu menyakiti gendang telingaku.
“Bayung?”
Aku menoleh ke belakang, Mas Luba berdiri di atas teras. Dia memanggilku, dan ketika aku melihat lagi ke depan, wanita tadi sudah menghilang.
“Mahal harganya? Apa itu tentang guci?”
0 Komentar