Aku cacing, dia biawak. Kami sepasang sahabat absurd. Dia ngeselin, tetapi aku sayang.
LIMA
Sofa panjang di depan ruang sidang mungkin bisa merasakan kegelisahanku saat ini. Duduk dengan gusar, aku menunggu untuk dipanggil. Di dalam sana, lima orang dosen sedang berdiskusi. Dua pembimbingku, dua penguji, dan seorang lagi berperan sebagai moderator. Aku bisa melihat kelima wajah itu melalui jendela dan pintu kaca di hadapanku. Namun, tak sedikit pun yang bisa didengar. Ruangan itu bagai kedap suara.
Di samping kananku ada Mona. Tadi dia membantu menyusun snackbox dan menyiapkan ruangan. Memang sudah tradisi, mahasiswa saling membantu temannya yang akan sidang. Seperti simbiosis mutualisme, nantinya aku juga akan membantu saat giliran Mona tiba.
Beberapa pesan kuterima dari teman-teman sejurusan. Mereka mendoakan dan menyemangatiku dengan antusias, karena aku akan jadi orang pertama yang melewati tahap ini di angkatan kami.
Dari banyaknya pesan masuk, tak satu pun yang berasal dari Rain. Dia mungkin sibuk dengan dunianya sendiri. Mana ingat kalau hari ini aku harus "bertarung". Atau, mungkin bisa jadi dia masih marah karena kelakuan Dani kemarin.
Aku menghela napas panjang, mengingat hari kemarin. Setelah Dani si biawak rese pergi, Rain dengan terang-terangan mengatakan ketidaksukaannya pada sahabatku itu. Bahkan aku diminta untuk tidak berteman dengannya lagi, hal yang tidak mungkin bagiku.
Dani sudah membersamaiku sejak tahun pertama di kampus ini, sedangkan Rain baru kukenal dalam hitungan bulan. Lagipula, manfaat yang kudapatkan dari Dani jauh lebih besar dari pada Rain. Kalau sama Rain, sejujurnya aku lebih banyak mengalah dan makan hati. Bahkan Dani lebih mengenalku. Tentu saja dia lebih mengenalku, kan, sudah kenal lama.
Mengingat Dani membuatku ingat dengan pesan dari pria jangkung itu subuh tadi. Di saat yang lain menyemangatiku, dia malah mendoakan agar aku gagal.
[Terus menyerah, jangan semangat! Semoga gagal biar kita wisuda bareng]
Sebuah pesan yang berhasil membuat mood-ku naik-turun. Padahal aku sedang butuh dukungan, dia malah menjatuhkan.
"Cika Andriana." Seorang dosen penguji memanggilku, tanda seminar segera dimulai. Aku mengangguk, lalu bangkit mengikuti dosen tersebut ke dalam ruang sidang.
"Goodluck, Cik," ucap Mona sambil mengepalkan sebelah tangan di udara.
***
Aku melangkah keluar dari ruang sidang. Empat puluh lima menit sudah kuhabiskan di dalam sana. Aku tahu betul, sebab sepanjang seminar berlangsung, mataku berulang kali melirik penunjuk waktu di dinding ruangan itu.
"Gimana?" Raut wajah Mona terlihat seperti orang yang sedang menunggui lahiran. "Bisa?"
Aku mengembuskan napas dengan kuat, lega karena sudah melewati saat-saat menegangkan.
"Insyaallah, bisa. Cuma, ya, nggak tau juga. Kita tunggu aja, ya." Aku lalu mengempaskan bobot tubuh di samping kiri Mona.
Kemeja putih yang kukenakan basah oleh keringat di beberapa bagain. Padahal ruang sidang tadi berpendingin, tetapi aku malah banjir keringat. Rok bahan hitam yang kupakai pun terlihat kusut di bagian paha. Pasti karena tadi kuremas akibat menahan gugup sepanjang seminar berlangsung.
Kupandangi wajah-wajah di dalam sana melalui pintu kaca. Harusnya, saat ini mereka sedang mediskusikan nilaiku. Namun, kelihatannya mereka tak seserius itu. Ada tawa menyelingi pembicaraan mereka. Jangan-jangan, jawabanku tadi ada yang tak pas.
"Ay." Suara seseorang yang sangat kukenal, itu Rain. Ada keajaiban apa sehingga dia datang ke sini. "How?"
Kulihat pria tampan berkulit sangat putih itu mendekat. Penampilannya sangat rapi. Mungkin dia akan masuk kelas atau baru keluar kelas.
"Apanya yang how?" tanyaku.
"Seminarnya, lah. Gimana?"
"Udah selesai, tapi masih nunggu hasilnya."
"Hmmm i'm sure you'll get an A."
"Aaamiiin," kataku dan Mona bersamaan.
Tak lama, namaku dipanggil lagi. Aku bergegas masuk dengan level kegugupan yang makin meningkat. Namun, semua kegugupan itu sirna seketika saat moderator seminar membacakan berita acara. Di akhir kalimatnya, aku dinyatakan lulus dengan nilai A. Sesuai dengan prediksi Rain tadi.
***
Malam hampir pukul delapan aku baru kembali ke indekos. Setelah seminar selesai, aku diajak makan-makan oleh beberapa teman. Menjelang sore, giliran Rain yang mengajak ke pantai. Kami berada di tepian laut hingga matahari tenggelam.
Ponsel yang mati sejak siang, langsung kucas begitu masuk ke kamar. Setelah menekan tombol power, segera aku beranjak untuk membersihkan diri. Begitu kembali ke kamar, belasan panggilan tak terjawab dan belasan pesan terpampang di layar ponsel. Semuanya dari Dani.
[Gimana seminar lo, Cing?] Begitu salah satu isi pesannya.
Pesan-pesan lainnya bernada sama. Walaupun tadi mendoakan agar aku gagal, aku yakin sebenarnya dia peduli denganku.
Aku mengetik sebuah pesan untuk sahabatku itu. Pesan balasan untuk serentetan pesannya yang seharian ini kuabaikan.
[Seminar gue lancar. Kalau mau wisuda bareng, cepetan kejar.]
Setelah memastikan pesan tersebut terkirim, aku kembali mematikan ponsel agar tidur malam ini lelap sampai pagi. Belakangan ini waktu tidurku berkurang karena terus belajar untuk persiapan seminar, makanya aku ingin membalas kelelahan itu dengan memberikan hak bagi tubuh ini untuk beristirahat.
Proposal penelitian yang sebelumnya sudah diseminarkan masih harus direvisi. Beberapa perbaikan dilakukan berdasarkan masukan dari dosen penguji. Setelah selesai merevisi, aku disuruh untuk mengurus surat izin masuk laboratorium. Nantinya surat itu yang jadi pengantar bagiku untuk bisa melakukan penelitian.
Aku berjalan melewati beberapa ruangan yang sebelumnya sudah pernah kukunjungi. Aku membaca tulisan di depan pintu ruangan-ruangan itu. Langkah terhenti saat membaca tulisan Ruangan Teknisi Laboratorium Kimia dan Biokimia.
Seseorang ada di dalam sana. Dengan ragu, aku mengucap salam dan langsung mendapat jawaban. Pria yang tadi berdiri membelakangiku, kini berbalik dan melemparkan senyum manis. Sangat manis.
Sejenak aku mematung, saat menyadari orang itu adalah pria yang tempo hari menanyakan ruang dekan padaku. Pria yang wajahnya ada Turki atau Palestinanya itu, lho. Ternyata dia adalah teknisi laboratorium yang baru. Wah, bakalan betah aku penelitian kalau begini.
Aku menyerahkan surat izin masuk laboratorium juga fotokopian proposal penelitianku padanya. Dia tampak begitu serius mempelajari proposalku.
"Penelitiannya bagus," katanya sambil membalik halaman proposalku. "Besok bikin list alat dan bahan kimia apa aja yang kamu butuhin, supaya bisa saya siapkan."
Aku mengangguk.
"Makasih, Pak. Eh, Bang. Eh, Pak." Duh, kenapa aku jadi tiba-tiba bego tiap berbicara dengannya.
"Panggil Bang saja, saya masih imut gini. Berasa tua kalau dipanggil bapak."
"Iya, Bang. Memang imut. Eh." Ah, kacau. Kenapa malah semakin malu-maluin gini. "Saya permisi dulu, Bang."
Aku segera berbalik, ingin cepat-cepat meninggalkan ruangan itu. Makin lama di sini, bisa-bisa makin banyak hal memalukan yang kukatakan.
"Dek Cika." Suara bariton yang sangat macho memanggilku.
"Ya?" Aku berbalik, memandang wajah tampannya dengan khusyuk.
"Semoga lancar, ya, penelitiannya."
"Iya, Bang, makasih. Mohon perhatikan saya, ya, Bang," kataku seraya sedikit membungkukkan badan.
Beberapa detik kemudian, aku merutuki kebodohan lain yang baru saja kubuat. Maksud hati ingin bilang mohon bimbing saya, kenapa jadi mohon perhatikan saya. Kutepuk kepala ini berulang kali, menyalahkan otak yang tak berjalan semestinya.
Baik-baik kau, otak. Namanya saja belum tahu, malah sudah eror duluan.
Bersambung
Judul: Drama Cacing dan Biawak
Akun penulis: rosnijaya
Yang mau gabung grup telegram berbayar untuk cerita ini sampai tamat, silakan klik untuk chat https://wa.me/6282385838315
Yang mau baca di KBM app sampai tamat, silakan klik Link KBM app
0 Komentar