Di Balik Cadar Istriku
“Bahannya cuma ini, tapi ada bumbu rahasianya."
***
“Mas Al ngapain ke sini?”
Dan sialnya, aku sampai lupa tujuanku ke sini.
“Mau menagih kewajiban El yang terakhir?” El terkekeh santai padahal seluruh tubuhku sudah panas dingin, perasaan dan pikiranku seketika kacau seperti benang kusut.
“Istriku mengidam,” sahutku dengan ketus sambil beranjak dari ranjang. “Buatin salad ayam sana!” Sengaja aku memberikan nada perintah agar El tersinggung, tetapi lagi dan lagi reaksinya di luar dugaan karena El justru tersenyum.
“Wah, pertanda janin itu akan berjodoh sebagai anakku,” kekehnya. Aku hanya melongo sementara El kini keluar dari kamar sambil bersenandung ria.
“Sabar … sabar." Aku hanya bisa menghela napas sambil mengusap dada. Niat hati ingin selalu menyiksa El, justru aku yang selalu tersiksa.
Aku segera berlari, mengejar El yang kini ke dapur. “Mandi dulu gih, Mas Al!” seru El sambil mengeluarkan daging ayam dari kulkas.
Aku memang sangat ingin mandi, tubuhku terasa lengket tapi aku harus mengawasi El selama memasak, jangan sampai dia meracuni calon bayiku.
“Kenapa? Takut aku meracuni makanannya?” tuduhnya seolah bisa membaca pikiranku, kini El mengambil selada, kubis dan sebagainya lalu mencucinya. “Suudzonan amat jadi orang, dosa lho.”
Aku masih tak mengindahkan ocehannya, pandanganku fokus pada gerakan tangan El yang terkesan santai tapi lincah, seolah memasak sudah menjadi keahliannya.
“Cuma itu bahan-bahannya?” Aku mengintip, ternyata cara El membuat salad ayam hanya seperti ini tapi kenapa rasanya seolah mengalahkan masakan resturant?
“Bahannya cuma ini, tapi ada bumbu rahasianya,” ujarnya. Aku hanya mencebikkan bibir. “Nggak penasaran apa bumbu rahasiaku?”
Aku mengedikkan bahu.
“Di mana ya?” El membuka lemari satu persatu seperti mencari sesuatu, mungkin bumbu rahasia yang dia masksud. “Yah, bumbu rahasianya nggak ada, aku lupa nggak beli,” tukasnya. “Sebentar, aku pesan dulu.” El mengambil ponselnya, lalu menyalakan benda tersebut dan mendekatkan ke wajahnya sambil berkata, “Sianida yang siap kirim."
“El Mazaaya!” Segera kusambar ponselnya dengan kesal. Tanpa sianida pun aku bisa mati karena jantungan jika El terus saja membuatku terkejut seperti ini.
Aku sangat kesal tapi El justru tergelak.
Sesungguhnya, tawa istriku terdengar sangat merdu, suara tawanya langsung menghapus rasa kesal di hati apalagi ketika mataku menatap matanya yang berbinar terang. “Aduh, Mas Al, El sampai sakit perut liat wajah panikmu.” Dia masih terkikik sambil mengusap air mata di sudut matanya.
“Dasar istri durhaka!” semburku walau sebenarnya hatiku justru menghangat mendengar tawa lepasnya. “Cepat selesaikan masakannya, istriku sudah lapar.”
El mengangguk lalu kembali fokus pada masakannya meski sesekali masih terkikik, sementara aku terus memandanginya tanpa berkedip sedikit pun.
Sekarang aku semakin yakin, El punya sihir dalam dirinya sehingga aku tak bisa mengalihkan pandangan darinya.
*****
“Enak banget, Mas, sumpah!” Yara menepuk perutnya setelah menghabiskan semua masakan yang kubawa dari rumah. El tak hanya membuat salad ayam, dia memasak nasi goreng seafood yang dilahap habis tanpa sisa oleh Yara. El juga membawakan buah apel dan kiwi yang sudah siap santap.
Sekarang aku tak bisa mengelak dari rasa ingin tahu, sebenarnya apa yang ada dalam pikiran dan hati El hingga memperlakukanku dan Yara seperti ini?
Apakah ini ingin menjadi manusia yang baik atau justru sedang bersandiwara agar aku tertarik padanya? Atau El ingin membuatku merasa bersalah dengan terus menunjukkan kebaikannya?
Aku tak bisa menerka jawaban dari pertanyaanku dan itu membuatku semakin memikirkannya tanpa henti.
“Buahnya segar.” Sekarang Yara menikmati buahnya, sementara aku merogoh ponsel lalu mencari kontak El.
[Kamu sudah makan?]
Mungkin ini akan menjadi hari bersejarah dalam hidupku, untuk kali pertama aku mengirimkan pesan lebih dulu pada El dan menanyakan hal remeh tapi penting seperti ini.
Sejak pagi, El hanya makan secuil roti dan dengan kejamnya aku meminta dia memasak untuk Yara. Setelah beberapa menit menunggu, aku tak kunjung mendapatkan balasan sehingga memantik rasa cemas di hatiku.
“Mau telepon siapa, Al?” tanya Yara saat aku mencoba menelepon El.
“Istriku." Jawaban singkat itu terucap begitu saja dari bibirku. Kulihat Yara terkesiap, mungkin terkejut dan aku pun terkejut dengan jawaban tersebut.
“El nggak balas pesanku, jadi mau aku telepon,” terangku walau Yara tak bertanya. Wanita itu hanya tersenyum tipis lalu mengangguk.
Panggilanku masuk tapi tak ada jawaban, membuat kecemasanku kian menjadi meskipun sudah coba kukendalikan. “Belum dijawab, Al?” tanya Yara yang kujawab dengan gelengan kepala. “Nggak usah khawatir gitu juga kali, Al, kamu bilang El di rumah saat kamu mau ke sini. Mungkin dia ketiduran atau sedang mandi.”
“Siapa juga yang cemas.” Aku masih mencoba mengelak walau tahu itu sia-sia. Yara hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya beranjak dari kursi lalu membereskan meja makan.
Ketika Yara bergerak, aku langsung teringat pada El karena gerakan mereka seperti sama. “Ck!” Aku berdecak sambil memu_kul kepalaku. Tentu saja gerakan semua orang pasti sama, kecuali jika ada yang sambil melakukan gerakan salto di dapur saat memasak atau bersih-bersih.
****
Hari sudah malam dan aku masih di apartemen Yara karena dia memintaku menginap, katanya rindu tidur di pelukanku.
“Kamu beda hari ini, Al.” Yara naik ke atas ran_jang, aku meliriknya sekilas. Dia memakai piyama satin berwarna merah yang membalut tubuhnya dengan indah. Setiap malam Yara memang selalu berpakaian s3ksi, begitu memanjakan mataku.
“Beda bagaimana?” Aku bertanya tanpa menoleh, pandanganku fokus pada buku yang sedang kubaca.
“Wajahmu murung sejak tadi, Al. Mikirin papamu atau … mikirin istrimu?”
Aku terhenyak. Memang benar, sejak tadi aku terus memikirkan El, bahkan membaca buku ini tak lebih dari pelarian agar aku bisa mengenyahkan El dari benakku tapi ternyata tak bisa.
El menguasi pikiranku, apa mungkin karena tadi kami hampir ….
“Kamu boleh pulang kalau memang sangat memikirkan istrimu,” ucap Yara sambil menarik buku dari tanganku. “Tapi aku rasa …..” Yara menggodaku dengan tatapannya, bahkan tangan mungilnya berusaha melepaskan kancing piyamaku. “Kita sudah lama tidak memadu kasih, Al, aku rindu.” Yara berbisik lirih di telinga.
Biasanya, has_ratku akan terpancing tapi tidak sekarang. Bahkan ketika Yara mencum_buku, aku tak bisa merasakan apa pun. “Yara!” Aku menghentikannya saat ingin melepaskan pakaianku. “Aku rasa jangan dulu.” Segera kurapikan kembali pakaianku sementara Yara terlihat kecewa. “Maksudku, kamu sedang hamil muda, aku takut itu berpengaruh pada calon bayi kita.” Aku yakin alasanku sudah tepat, jangan sampai Yara tahu bahwa aku tak berminat memadu kasih dengannya karena pikiranku dipenuhi oleh El.
“Benar juga.” Yara melempar senyum tipis. “Terima kasih sudah diingatkan.” Aku hanya membalasnya dengan senyum simpul. “Tidur yuk, udah malam.”
Aku mengangguk. Segera kurebahkan diri ke ran_jang setelah mematikan lampu, Yara mendesakkan tubuhnya ke tubuhku yang segera kusambut walaupun dengan setengah hati.
Malam ini, memang Yara yang ada dalam pelukanku tapi sepanjang malam El Mazaaya yang memenuhi pikiranku. Matanya yang berbinar terang memenuhi benakku, bahkan suara tawa merdunya memenuhi pendengaranku.
Wanita itu berhasil menarik perhatianku dalam sekejap hanya dengan tatapan dan suara tawanya.
Keesokan paginya, aku langsung pulang karena ingin melihat apakah El baik-baik saja atau tidak apalagi dia tak mau menjawab panggilanku. El hanya mengirimkan pesan yang memberi tahu tak ingin berbicara denganku ketika aku sedang bersama wanita lain.
Jujur saja, pesan singkat itu menohok hatiku.
“El?” panggilku sambil mendorong pintu kamarnya. Tak ada siapa pun, kamarnya bersih dan rapi, begitu juga dengan ranjangnya.
Segera aku merogoh ponsel lalu menghubunginya. Tak butuh waktu lama, panggilanku dijawab. “Kamu di mana?” tanyaku tanpa menjawab salam yang diucapkan olehnya dari seberang telepon.
“Di rumah sakit, jenguk Papa.”
Aku bernapas lega mendengar jawabannya. “Kenapa nggak tunggu aku?”
“Tumben."
Aku langsung tersenyum sinis mendengar jawaban tak terduganya. Bukannya terharu karena aku bertanya kenapa tidak menunggu, dia justru mengatakan tumben? Apa di mata El aku sungguh tak bisa diharapkan sebagai suami yang bisa diandalkan?
“Pulang!” titahku tanpa basa-basi. “Aku lapar.”
“Oh ya? Memang istrimu yang di sana nggak kasih makan?”
Aku langsung garuk-garuk kepala. Tadi Yara sudah menyiapkan sarapan tapi aku tak berselera karena tidak sabar ingin pulang ke rumah ini.
“Di kasih lah, Yara istri yang baik jadi pasti menyiapkan sarapan.”
“Terus kenapa masih lapar?”
Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan, kuusap dadaku yang bergemuruh. “Suami memerintahkanmu pulang ya pulang, El Mazaaya! Mau jadi istri dur_haka kamu, huh?”
“Suami yang menuntut kewajiban tapi lupa memberikan hak.” El menggerutu dan aku merasa tertampar.
Tak tahu harus menjawab apa, aku mengakhiri panggilan secara sepihak. Ini tindakan pengecut tapi aku tak peduli.
Aku mondar-mandir sambil memutar otak, menimbang-nimbang apakah aku harus memberikan hak El sebagai istriku atau tidak?
Tanpa terasa waktu berlalu begitu saja karena El sudah tiba di rumah tapi aku masih belum menemukan jawaban dari pertanyaanku.
“Mas Al nggak kerja?” tanya El sambil meletakkan tasnya di sofa.
“Kenapa?” Aku balik bertanya dengan ketus.
“Nanya aja.” El ke dapur membawa kresek dan aku mengikutinya.
Sungguh perubahan yang drastis dalam waktu singkat. Sebelumnya, aku bahkan enggan berpapasan dengannya tapi sekarang aku mengekori El seperti anak ayam yang mengikuti induknya.
“Aku nggak kerja setahun pun nggak akan jadi miskin,” cetusku asal.
“Iya sih.” Aku mengangkat alis saat El membenarkan ucapanku. “Secara, istri pertamanya nggak dinafkahi sedangkan istri keduanya bisa mencari nafkah sendiri,” sindirnya dengan santai sambil mengeluarkan isi kresek yang ternyata buah.
“Mau berapa? Aku tran_fser sekarang,” tantangku sambil mengeluarkan ponsel dari saku.
“1 0 0 ju_ta.”
Aku melotot terkejut mendengar nominal yang El sebutkan. Tanpa uang dari papa, tentu 1 0 0 ju_ta sangat besar untukku yang baru merintis karir sebagai dokter kecantikan.
“Matre amat jadi istri,” keluhku.
“Bukan matre tapi realistis," sangkalnya. “Buah, daging, sayuran dan yang lainnya sekarang tuh mahal. Selain itu, aku juga butuh perawatan diri dan sebagai dokter kecantikan seharusnya Mas Al tahu seberapa mahal kecantikan seorang wanita,” paparnya yang membuatku melongo. “1 00 ju_ta untuk nafkah sekaligus u_ang belanja di rumah, itu sudah termasuk sangat sedikit.” Lanjutnya.
Aku menelan ludah dengan susah payah. El selalu di luar dugaan. Jika nafkah El harus kuberikan 1 0 0 ju_ta, maka aku tak bisa berpoligami karena pasti tidak bisa menafkahi Yara dan calon anak kami.
“Kenapa, Mas Al?” El melambaikan tangan di depan wajahku. “Mulai berpikir kalau biaya hidup itu mahal apalagi jika punya dua istri?” Dia tertawa kecil sementara aku hanya bisa termangu, sebab El selalu bisa membaca pikiranku dengan mudah.
“Hem.” Aku mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaannya. “Oleh karena itu, aku harus memilih salah satu di antara kalian untuk dipertahankan sebagai istri."
Sorot mata El langsung berubah, mungkin dia takut diceraikan olehku padahal itu tak mungkin, sebab menceraikannya sama saja melepaskan semua harta yang seharusnya menjadi milikku.
“Tiga bulan,” ujarnya yang membuatku mengernyit bingung. “Mas Al punya waktu tiga bulan untuk memilih di antara kami. Jika memang Mas Al memilih Yara, katakan saja karena tetap aku yang akan menuntut cerai agar perjanjian Mas Al dan Papa dimenangkan oleh Mas Al.”
***
Di Balik Cadar Istriku (Istri Yang Kuduakan Ternyata....) - SkySal_Alfaarr25
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
0 Komentar