SUAMIKU MEREG4NG NYAW4 SETELAH MAKAN DI WARUNG JANDA SEBELAH

 SUAMIKU MEREG4NG NYAW4 SETELAH MAKAN DI WARUNG JANDA SEBELAH. TERNYATA WARUNG ITU


Part 3
Lidahku masih terasa kelu, mematung sembari menenteng bingkisan oleh-oleh dari Mbak Murti. Mataku terus saja menyaksikan wanita itu bergerak menjauh dari depan pintu.
"Apa itu, Bu?" Tiba-tiba Kirana meraih bingkisan dari tanganku lalu mengamatinya. "Nggak mau ah, Bu. Paling juga makanan, udah munek-munek perutku." Kirana menyerahkan kembali bingkisan itu kepadaku.
"Ibu buatkan teh hangat, Kir, mau? Biar perutnya enakan?"
"Nggak, Bu. Minum air putih aja. Mau tidur lagi." Kirana beringsut ke kamarnya dengan membawa satu botol air putih.
Sementara itu, Mas Romi sedang membereskan bungkus pecel yang sudah dia habiskan dalam waktu sekejap. Seunggu aneh. Terhitung dia sudah menghabiskan tiga bungkus kupat pecel dengan porsi standar. Walaupun begitu, tidak biasanya Mas Romi makan sebanyak itu. Apalagi sudah tengah malam begini.
"Mas habisin semua kupat pecelnya?" tanyaku memastikan. Walaupun aku sendiri sudah melihat suamiku menghabiskan dua bungkus kupat pecel buatan Mbak Murti.
"Iya habisnya enak dan udah lama banget nggak ngerasain pecelnya Mbak Murti. Eh iya ngapain Mbak Murti, Dek? Kok nggak disuruh masuk?" Pria itu menghampiriku yang masih mematung di depan pintu ruang tamu.
"Dia cuma mau kasih oleh-oleh, Mas mau?" Aku intip sedikit isi dalamnya, ternyata isinya semacam cemilan yang dikemas di dalam toples kecil.
"Memangnya apa itu, Dek?"
"Cemilan kayaknya, Mas."
"Nggak ah, kenyang." Mas Romi longgarkan tali kolor celana trainingnya.
"Iya lah kenyang, wong habis tiga bungkus. Ini aku letak di depan TV ya. Kalau nanti Mas mau ngemil ambil aja."
"Iya Dek, mas mau merokok dulu, kamu duluan aja kalau mau tidur. Nanti mas nyusul."
"Heeem." Aku beringsut ke kamar utama untuk mengistirahatkan badan.
Sejak tanaman semangka kami sudah mendekati masa panen, hampir setiap malam Mas Romi ke kebun setelah magrib karena ada saja anak-anak remaja tanggung yang suka nakal, seenaknya mengambil buah yang sedang menunggu masa panen.
Biasanya Mas Romi akan pulang menjelang tengah malam, dirasa keadaan sudah aman untuk ditinggalkan. Sejak saat itu juga aku jarang bisa tidur terlebih dahulu jika Mad Romi belum pulang. Setelah menidurkan si bungsu, aku lanjut menunggu kepulangan Mas Romi sambil nonton acara televisi.
Paginya seperti biasa aku bangun subuh untuk menyimpan bekal Kirana sekolah, masak untuk saran dan kadang sambil memasukkan baju kotor ke mesin cuci.
Kali ini aku buatkan menu bekal Kirana dengan sosis goreng orak-arik telur dan saus kesukaan. Sementara untuk menu sarapan, aku buat nasi goreng yang praktis.
"Bu, kok perutku nggak enak ya, dari malam tadi setelah makan pecel." Kirana keluar dari kamar dengan mengelus perutnya.
"Duduk sini biar ibu buatkan teh hangat."
Anak itu mengangguk lalu duduk di kursi meja makan. Badannya dia gelongsorkan di atas meja.
"Sakit banget apa, Kir? Kalau iya, nggak usah sekolah dulu. Nandi ibu izinkan sama wali kelas kami."
"Nggak kok, Bu. Kalau sekolah masih bisa, paling minum teh nanti mendingan."
"Beneran, Kir? Kalau sakit jangan dipaksa."
"Nggak apa-apa, Bu. Aku males nanti ketinggalan pelajaran kalau nggak masuk sekolah. Nanti kalau ada PR atau tiga kan aku nggak tahu."
"Ya sudah terserah kamu, tapi kalau dirasa nggak enakan banget, nggak usah sekolah sekalian."
"Iya, iya. Bu."
"Ya sudah shalat dulu sana, sudah itu mandi, ini tehnya diminum dulu." Aku meletakkan satu gelas teh tubruk hangat beraroma melati.
Gadis kecilku pun menyesapnya hingga tandas setengah. Kemudian dia menyambar handuknya dan beringsut ke kamar mandi.
"Dek, kopi mas mana?" Mas Romi yang baru pulang dari masjid langsung duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Kirana.
"Sebentar, Mas. Tadi mau kubikinkan, takut dingin, kalau aku nunggu kamu pulang."
Aku lihat Mas Romi baik-baik saja. Padahal dia makan pecel aneh itu sampai tiga bungkus, Kirana yang hanya mencicipi sedikit saja, perutnya masih merasa tidak enakan.
'Benar-benar kebal perutmu itu, Mas.' batinku.
Aku beringsut menuangkan pemanis dan serbuk hitam yang membuat sebagian besar orang kecanduan dengan aroma dan rasa legitnya ke dalam gelas. Kemudian kutuangkan air panas yang baru saja aku rebus. Seketika aroma khas dari serbuk hitam itu menguar memanjakan hidung.
Sekitar setengah tujuh, aku antar Kirana ke sekolah, sedangkan Mas Romi juga berangkat ke ladang
"Dek nanti nyusul sekalian bawakan bekal ya."
"Iya, Mas."
Sepulang dari mengantar Kirana, aku langsung melanjutkan beres-beres rumah dan menjemur pakaian. Setelah itu baru menyusul Mas Romi ke ladang.
"Bu, ini apa di depan TV?" teriak Dika anak bungsuku.
Ah iya, aku baru ingat dengan oleh-oleh dari Mbak Murti semalam.
"Oh, itu oleh-oleh dari Bulik Murti, buka aja, kayaknya jajanan itu Le."
"Jajan, Bu?" Anak itu langsung kegirangan. Sekilas dari luar aku lihat dia membopong bingkisan itu dan di taruknya tikar.
"Bu, ini tanah sama kerikil," pekik Dika dari dalam rumah.
Aku yang sedang menjemur baju lantas melongok melalui jendela. Namun karena tak puas, aku langsung masuk ke dalam untuk memeriksanya.
Ternyata benar saja setelah aku amati isi toples itu tanah merah dan batu kerikil.
"Astaghfirullah, apa-apaan ini Mbak Murti," gumamku.
Aku langsung menyambar toples itu lalu berlari ke rumah Mbak Murti. Apa maksudnya dia memberi kami oleh-oleh tanah merah seperti ini? Apa dia mau menghinaku?
"Bu, ikut!"
"Ayo, buruan!"
Sampai di depan warung yang sekalian rumahnya, aku benar-benar dibuat terkejut dengan keadaan rumahnya yang kotor penuh debu dan dedaunan. Bahkan bangku-bangku yang semalam digunakan para pelanggannya masih tersusun di atas meja, masih dengan debu yang tebal.
"Astaghfirullah hal adzim, ini apa-apaan?"

Posting Komentar

0 Komentar