Bahaya Istri Tersinggung
Sejak kejadian itu, aku jadi lebih berhati-hati memilih kata sebelum diucapkan tatkala ngobrol dengan istri. Sebab, sedikit salah ucap bisa panjang urusannya.
***
Beberapa hari lalu, aku melakukan kekhilafan. Dan itu berakibat bikin aku pusing sendiri.
Ceritanya, pada suatu pagi istri bilang,
"Bang, minta tolong pijitin kepalaku bentar, dong. Agak pusing, nih."
Aku menurut, memijat kepalanya bagian kiri dengan pelan.
"Kenapa pusing, Neng?" aku bertanya. Terus memijat kepalanya.
"Kayaknya gara-gara gak bisa bobo nyenyak tiap malem."
Keningku berkerut, "Gak bisa bobo nyenyak? Kenapa?"
Aku pikir istri akan bilang sambil nyanyi, "Karena banyak nyamuk di rumahkuuu, gara-gara akuuu, malas bersih-bersih."
Ternyata tebakanku meleset.
"Gak bisa bobo gara-gara kebangun terus, tiap malem anak-anakmu rewel. Gantian nangis, minta minum minta dianter pipis," istri manyun.
Aku pun menanggapi, kelak aku akan menyesal mengapa mengatakan hal ini pada istri, penyesalan tak berujung.
"Masa', Neng? Anak-anak loh gak pernah rewel. Buktinya aku gak denger anak-anak nangis tiap malem. Apalagi minta minum atau pipis."
Istri menjawab, "Iya, soalnya Abang bobo kayak orang pingsan. Jangankan denger suara anak rewel, ada gempa pun gak bakal denger."
"Ah, Neng ngarang, anak-anak bobonya anteng kok tiap malem." Aku tersenyum.
Setelah itu istri melepas tanganku dari kepalanya. Aku pegang lagi kepalanya, dia lepas. Aku mau pegang lagi, dia ngelak. Mau aku pegang untuk kesekian kalinya, dia ngancam bakal teriak maling.
Istri pun menatapku agak emosi, "Abang gak ngerti sih, tiap malem aku bangun-bangun terus ngeladenin anakmu. Sengaja aku gak bangunin Abang biar nyenak bobonya. Aku kasihan, soalnya pagi Abang bakal kerja. Eh, sekarang malah bilang gitu. Tersinggung aku. Awas, mulai nanti malem aku bakal bangunin Abang kalau anak-anak bangun. Biar Abang ngerti susahku tiap malem."
"Eh, maksudku gak gitu, Neng," aku garuk-garuk leher yang gak gatel.
Dia agak mewek, "Biarin. Pokoknya mulai nanti malam bakal aku paksa Abang bangun tiap anak-anak rewel."
***
Benar saja, malam harinya ketika aku lagi mimpi jadi superhero, terasa tubuhku digoyang-goyang.
"Bangun, Bang. Bangun. Itu Ayas minta anter pipis."
Aku memaksa mata yang masih terasa lengket untuk terbuka. Ya Allah ngantuk banget.
"Ayo, anterin Ayas ke kamar mandi, keburu ngompol, loh." Istri berucap dinging.
Aku berdiri terhuyung mengantar Ayas, merem melek nunggu dia pipis, lantas menyebokinya. Setelah itu kami kembali ke kamar tidur. Aku langsung tepar sesi ke dua. Tadi sempat aku lihat jam, masih jam 1 dini hari.
Serasa baru saja rebahan ketika tubuhku digoyang-goyang kembali oleh istri. Sayup terdengar suara tangisan si kecil.
"Itu Adek Kayla nangis minta minum. Abang ambilin ya."
Aku mulet, "Ngantuk banget, Neng."
"Gak bisa. Ambilin minum. Buruan ntar nangisnya makin kenceng loh si Adek."
Macam zombie aku jalan keluar kamar dan mengambil minum. Aku lihat jam lagi di dinding. Jam 2 dini hari. Haduh.
Aku balik ke kamar membawa air minum. Dan langsung tepar lagi.
Tak berapa lama, istri bangunin aku lagi, kini gantian Ayas yang minta minum. Jam setengah 3.
"Ya Allah ampuni hamba," ucapku lirih waktu jalan keluar kamar buat ngambil air. Terdengar istri cekikikan di kasur. Dalam keadaan ngantuk seperti itu aku tetap berusaha fokus, khawatir yang kuambil malah air kran, bukan air galon.
***
Esoknya, istri tersenyum melihatku yang lemes saat berangkat kerja.
"Kenapa, Bang?"
"Ngantuk, Neng. Sampe pusing ini." Aku memegang kepala.
"Hmm... Gimana rasanya jadi aku?" tanyanya. "Enak?"
Aku menggeleng.
"Tuh," ucap istri, "tapi dianggep sepele terus pekerjaanku di rumah. Aku ngeluh kurang bobo malah dinyinyirin."
"Maaf, ya."
Dia tersenyum lagi, "Iya. Sini aku pijit dulu kepalanya."
Segera aku nyodorin kepala. Dia pijit lembut kepalaku. Dengan kepala tetap dalam keadaan tengkleng, tiba-tiba aku berfikir,
'Bener ya. Pekerjaan istri di rumah sebenarnya berat banget. Pekerjaan yang tanpa jeda, tak ada waktu istirahat, non stop. Memasak, nyuci piring, nyuci baju, jemur, nyetrika, mengurus anak, menemani anak bermain dan belajar, menenangkan anak-anak yang berantem rebutan mainan, menenangkan suami yang suka ngelunjak minta aneh-aneh tiap malem, membuat rumah selalu rapi, mikirin uang sekolah anak, mikirin cicilan panci. Itu bukan pekerjaan sederhana. Berat. Berat banget. Tapi hanya karena dia tidak berseragam dan tidak minta gaji, kita para lelaki, sering menganggapnya sebelah mata. Padahal jika istri tega memasang tarif atas semua pengabdiannya tiap hari, pasti kita akan bangkrut.'
"Sudah, Bang." Dia melepas kepalaku. Rasanya enteng setelah dipijit.
"Makasih ya, Neng."
Dia mengangguk.
Aku pun melangkah keluar rumah untuk bekerja.
Dan dari kejadian ini aku sadar, jangan pernah ngomong aneh-aneh sama istri. Apalagi hingga berkata-kata meremehkan kerjanya di rumah. Karena jika dia sampai tersinggung, kelar hidup lo.
Waspadalah!
***
0 Komentar