JODOHKU OM DUDA NYEBELIN
Part 2
"Eh eh ... Mah, Pah tolongin," teriaknya panik ketika aku pura-pura kejang-kejang dan tergelatak di ubin lantai.
"Sisil makan bunga, Mah, jadi kejang. Gimana ini, Mah?" tanya suamiku lagi.
Dasar suami gak pengertian. Harusnya tuh diangkat ala bridal stell, eh bridal style. Emang gak peka!
Aku sedikit membuka mata, pelan-pelan, mengintip seberapa panik dia. Terlihat keringat sebiji jagung sudah menghiasai wajah Om Ganteng. Jelas sekali aura ketakutan dari lelaki yang tadi siang baru saja mengucap ijab qobul. Tubuhku terus kugerakkan naik turun seperti orang kejang, bagaimana pun sandiwara ini harus mulus. Semulus kulitku yang memakai lulur lumpur belakang rumah. (Gak usah protes, ini rahasiaku.)
"Angkat cepet! Kamu gimana sih, harusnya cepet bawa ke Bu Bidan. Tar anak mamah mati ga ada gantinya." Mamah semakin panik. Tapi gak doain mati juga kali, Mah! Hikss.
Tubuhku terasa mengambang. Sepertinya dia mulai mengangkatku. Lagian harusnya dari tadi kali, Om. Badan mungil gini masih ogah ngegendong. Emang perhitungan banget itu Si Om-Om. Kesel aku, gaes, pengen rasanya kugigit hidup-hidup. Tapi cinta, gimana dong!
Aku terus dibawa dalam dekapannya yang begitu tergesa melangkah. Sementara suara degup jantung terdengar jelas di telingaku yang memang bersentuhan langsung dengan dadanya. Seperti ada bunyi gendang Mang Rama Si Penyanyi dangdut. Badanku sampai ingin sekali bergoyang-goyang mengikuti irama. Begitu ingin bergoyang, aku kembali teringat, ini sandiwara.
"Sayang ... kamu pasti kuat! Maafin, Om," ucapnya dengan suara serak. Wah, apa segitu takutnya dia?
Aku tersenyum ... tentu dalam hati, mendengarnya minta maaf. Suruh siapa sok jual mahal. Hahaha. Berasa ada bunga yang barusan kumakan, kini berkeliling di atas kepala. Bahagia.
Langkahnya terhenti. Sepertinya sudah sampai di depan rumah Bu Bidan.
"Bu, buka pintunya! Cepet, Bu! DARURAT!!!" teriak suamiku. Dari suaranya, dia sudah tidak sabar ingin segera menyelamatkanku. Ah, meleleh hatiku.
"Maaf lama, Pak. Silahkan tidurin istrinya," perintah Bu Bidan Ismi. Bidan langganan yang sudah tidak diragukan lagi kepiawaiannya mengobati pasien.
"Wah jangan, Bu! Aku masih normal, masa nidurin depan Bu Bidan!" ujar suami lantang. Dasar ya, emang orang mesum mah gitu. Pikirannya sudah traveling aja ke mana-mana.
Brugh!
'Ah, sakit!' jerit batinku.
"Huff, maaf Bu Bidan. Aku sudah keberatan, sakit tangannya. Nanti kalau rusak blankarnya aku ganti, Bu," ucapnya, setelah dengan tidak berperikemanusiaan melemparku begitu saja ke ranjang pemeriksaan. Awas aja! Begini jadi suami? Main lempar bini?
"Uhuk-uhuk." Aku berpura-pura batuk, kubuka pelan-pelan mata indah ini. Seindah wajahku yang memakai polesan bedak kiloan dari warung Bu Tarmi.
"Wah, udah bangun! Ibu priksa dulu ya, Sil!" ucap Bu Bidan.
Aku mengangguk sambil terus memegangi perut. Rasanya seperti ada yang aneh. Barusan aku hanya berpura-pura saja kejang. Tapi sekarang? Aku bangkit dari tidur, karena sudah tidak tahan lagi menahan gejolak dalam perut.
"Hoeek ...."
Tidak tahan menahan rasa mual, aku memuntahkan begitu saja isi perut, tentunya masih di ruang periksa Bu Bidan. Terlihat muntahan di lantai dengan berbagai macam, ada bakso juga bunga yang barusan kumakan . Aku memandanginya dengan jijik.
"SISIL!!!" teriak Om.
Aku menoleh kearahnya, wajah lelaki itu seperti kesetanan. Aku yang masih pusing bersikap B aja. Apa yang salah? Masa iya ingin muntah ditahan? Bentar kenapa dia mukanya basah? Keringat kok lengket begitu.
"Apa, Si Om? Udah gak tahan mau anu?" jawabku ngelantur, ingat adegan kasur. Eh maaf, otakku memang kudu dibengkel.
"Kalau muntah liat-liat. Mukaku ... Oh God! Kutukan apa aku bisa menjadi suaminya." Lantang Om Nyebelin berucap.
Sekonyong-konyong dia bicara. Menikah dibilang kutukan. Awas saja, aku kutuk beneran jadi Bucin. Sisil dipermalukan begini! Kagak bisa, Jendral!
***
"Ayok makan! Buka mulutnya!" perintahnya setelah pulang dari Bu Bidan. Di tangannya ada satu mangkok bubur bayi. Dikira aku baby.
Aku masih dalam posisi demo. Demo menutup mulut dari segala macam godaan yang bisa meruntuhkan pertahanan.
"Siiil ... Ayok, makan," ucap Om lembut. Sangat lembut. Hampir saja hati ini luluh melihat wajahnya yang memelas.
"Suruh siapa lempar badanku. Sakit tau! Om jahat sama aku!" ujarku dengan mimik muka kubuat sejengkel mungkin. Memang beneran sakit tulang belulangku.
"Om minta maaf. Mana yang sakit? Om elusin."
Gak aman! Ini sudah gak aman buat hati. Pikiran dan otak hampir saja berhenti bekerja. Hampir menyerah begitu saja dengan kata-kata Om barusan.
Aku berbaring membalikkan badan. Tidak mau mendengarkan lagi ucapan Om. Bahaya. Namun, belum semenit, sentuhan di punggungku membuatku meremang, hangat. Pelan-pelan tangan kokohnya mulai mengelus-elus. Tak lupa ia membenahi rambut belakangku yang entah pada nyangkut atau memang rambut juga paham kemudian mencari kesempatan dalam kesempitan.
"Om beneran gak sengaja. Tangan kanan Om memang bermasalah. Pernah kecelakaan di kamar, tahun lalu. Sekali lagi Om minta maaf," ucap suamiku.
Ah gagal. Aku menyerah. Gak tega aku! Bagaimana pun seseorang yang sudah meminta maaf dengan tulus harus kudengarkan, hatiku memang selembut itu. Kubalikkan posisi tidur menghadapnya, menatap mata lelaki yang kini terlihat murung. Ada yang berdenyut di dalam sini. Retak.
"I--ya, aku maafin. Ta--pi ada syaratnya!" ucapku dengan berat hati. Masih memandangi ciptaan Sang Semesta yang begitu indah tiap detailnya.
Sejenak aku merenung. Semenit dua menit ... oke. Aku tau apa yang aku pikirkan.
"A--ku mau ...."
(Tahan ah, biar kalian senapsaran)
BERSAMBUNG
0 Komentar