Di remehkan Saat ReUni
Kini hatiku berdebar lagi setelah sekian lama berpisah dengan mantan. Dia bilang masih sendiri dan masih mengharapkanku, sementara aku sudah berkeluarga. Namun, hatiku masih sayang padanya ....
Diremehkan Saat Reuni (10)
Vivi menoleh ke arah sofa empuk dekat jendela besar kamar mereka. Di sanalah Emre terlelap, menyamping seperti udang rebus, dengan ekspresi wajah antara k esal dan pasrah.
Dan malam itu … h asr at Emre tak tersalurkan. Lagi.
Pukul 06.30. Rumah sudah mulai ramai. Kedua ank mereka, Emine dan Ahmet, sibuk bersiap ke sekolah dengan bantuan pengasuh. Sopir keluarga sudah siap menunggu di depan.
Emre akhirnya bangun, berjalan ke arah meja makan kmar dengan rambut berantakan dan brewok kusut.
“Sarapan dulu, Pih, biar semangat kerjanya,” ucap Vivi
Emre hanya mengangguk lemas. “Tadi malam ...”
“Gak usah bahas tadi malam,” potong Vivi cepat.
Emre masih k esal. Tapi tetap saja, dia gak pernah bisa marah lama-lama ke Vivi.
Pukul 08.00, Emre bergegas ke kantor. Ia memimpin sebuah perusahaan perhotelan dan restoran bintang lima.
Hari ini ada meeting penting dengan relasi baru dari perusahaan asing. Emre tampil necis dengan jas abu-abu dan parfum khasnya yang maskulin.
Begitu tiba di ruang meeting, jantungnya seolah kena tendang.
Di ujung meja, duduk seorang wanita dengan blazer merah marun, rambut ikal terurai, dan aura yang membuat siapa pun di ruangan itu tak bisa tidak melirik, Laura.
Mantan. Yang dulu sempat nyaris jadi istri kalau saja dia gak pergi ke luar negeri.
Laura menatap Emre dengan mata membulat, sama kagetnya. “Emre?”
“Laura?”
Suasana hening sejenak, seperti jeda.
Direksi lain mulai membuka meeting, dan keduanya berusaha tetap profesional. Tapi sesekali, mata mereka bertemu lagi. Tatapan lama yang menyimpan tumpukan masa lalu.
Usai meeting, Emre mengajak Laura makan siang di restorannya sendiri yang berdiri tepat di samping hotelnya.
Mereka duduk berseberangan. Emre menatap Laura lekat-lekat. “Kenapa bisa kamu sekarang kerja di sini? Bukannya masih di luar negeri?”
“Perusahaanku buka cabang di Jakarta. Aku ditunjuk jadi kepala divisi Asia Tenggara. Nggak nyangka banget bakal ketemu kamu di meeting pertama.”
Emre tertawa kecil. “Lucu ya hidup. Semalam aku bilang ke istriku kalau aku udah lama gak ketemu mantan …”
Laura menimpali cepat, “Dan hari ini kamu ketemu aku?”
Mereka tertawa bersama, lalu mendadak hening.
Laura menatap tajam, lalu bertanya dengan suara pelan, “Kamu ... udah nikah?”
Emre mengangguk santai. “Udah. Dua ank. Mau tiga. Istriku lagi hamil enam bulan.”
Laura terdiam. Ekspresi wajahnya sulit dibaca, seperti menelan pil pahit tanpa air. “Wah … cepat juga kamu.”
Emre menyandarkan punggung. “Kamu sendiri?”
Laura menunduk. “Belum. Masih sibuk kerja, sampai gak ada waktu buat nyari pasangan hidup. Kadang ngerasa waktu terlalu cepat lari, dan tiba-tiba sadar … aku sendirian.”
Ucapan itu menggantung di udara. Mereka berbincang dalam kecanggungan, tapi keduanya masih sering mencuri pandang. Sampai akhirnya mereka saling bertukar nomor HP.
Setelah cukup lama berbincang santai, dan makanan yang di meja pun sudah habis dimakan, Emre bangkit untuk pamit. Tapi sebelum pergi, Laura menye ntuh pergelangan tangannya.
“Emre …”
Emre menoleh.
“Kalau waktu bisa diputar … kamu bakal pilih aku atau dia?”
Pertanyaan itu mengunci Emre di tempat. Ia ingin tertawa, ingin bercanda, tapi pertanyaan itu terlalu berat. Terlalu dalam.
“Gimana aku bisa jawab pertanyaan yang bahkan semesta aja gak berani jawab?” balasnya dengan nada pelan.
Laura mengangguk, pahit. “Ya, itu yang aku takutkan. Kamu gak berani jawab, karena kamu tahu … sebagian dari dirimu masih milik aku.”
Dan Emre pun terdiam. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ia melirik ponsel yang tergeletak di atas meja.
Vivi. calling.
***
Grup WhatsApp “SMA hitz” mendadak hidup kembali setelah jam menunjukkan pukul delapan malam.
Notifikasi pesan masuk berdenting nyaring satu per satu, bersahutan.
Almyra menjadi yang pertama membuka obrolan.
“Haiii, kumpul-kumpul yok! Ada info penting nih!” tulisnya.
Dimas langsung menyamber, “Apaan wooy? Jangan bikin penasaran doang oh.”
Tina nimbrung dengan cepat, “Mau bagi-bagi sembako ya? Hahaha,”
Vera ikut penasaran, “Kayaknya penting banget nih.”
Tak lama kemudian, Almyra menjawab,
“Ini serius, ya. Dua minggu lagi bakal ada reuni akbar SMA. Semua angkatan, dari angkatan pertama sampai yang baru-baru. Tempatnya di Graha Cantika.”
Chat langsung meledak. Emoji berhamburan di antara tawa dan komentar antusias. Obrolan penuh nostalgia mulai mengalir deras—tentang masa-masa OSPEK, guru killer, dan kisah cinta monyet zaman SMA dulu.
Lalu, sebuah pesan dari Fajar membuat suasana berubah.
“Vivi bakal datang gak ya?”
Beberapa detik hening.
Lalu seperti air bah, chat kembali membanjir.
Tina: “Eh, eh ... kenapa nanyanya Vivi doang, Jar?”
Vera: “Wkwkwk ... jangan-jangan ada yang belum move on nih?”
Dimas tak mau ketinggalan,
“Yaaelah, dia kan udah punya ank, bro, mau tiga loh. Lu nanya gitu ntar suaminya ng amuk baru tau rasa!”
Fajar cepat membalas, “Sumpah, gue cuma nanya. Biasa aja, napa.”
Tapi sayangnya, semuanya sudah telanjur terpancing.
Almyra: “Eh tapi gue juga penasaran sih, Vivi itu suaminya kayak apa ya?"
Tina: “ Emang nanti kita mau pada bawa suami?”
Yuniar ; "Jelas, dong. Kita tunjukkin sama semua yang hadir kalau suami kita itu keren dan mapan."
Vera: “Iya juga ya, pasti kita bakal bangga ya."
Yuniar ; "Paling juga biasa aja. Gak mungkin kalau suaminya mapan."
Fajar ; "Eh, jangan ngomong begitu. Siapa tahu dia suaminya benar mapan, soalnya aku pernah liat dia naik mobil mewah bareng pria brewokan."
Tina ; "Oh, itu sih majikannya, Jar. Si Vivi itu kan, peng asuh di rumah bosku. Kalau gak percaya lu tanya aja sama Yuniar, kemarin kan, aku sama dia lihat Vivi di mall sama ank majikannya terus pulangnya dijemput."
Fajar ; "Oh, gitu ya."
Almyra ; "Lagian lu mikirnya jauh banget sih, Jar. Masa iya pria kaya mau sama Vivi yang jadul dan mi skin itu. Gak mungkin banget deh."
Pesan berikutnya langsung menunjukkan bahwa
“Fajar telah keluar dari grup.”
Mendadak hening. Bahkan emoji pun berhenti.
Tina: “Ya ampun ... sampe left group tuh.”
Vera: “Keterlaluan sih. Mungkin dia masih nyimpen rasa.”
Dimas: “Biarin ajalah, gak rugi juga kalau dia keluar dari grup.”
Tapi yang lain hanya membaca tanpa membalas.
Almyra ; "Eh, jangan lupa ya, dua minggu lagi kita reuni akbar. Harus pada datang ya! Dan ingat dandan yang cetar biar bisa gaet cowok super tajir!"
0 Komentar